“אֱלֹהִים” (translit: ‘Ĕlōhîm) adalah salah satu lafadz untuk
menyebut Dzat Yang Patut Disembah dalam Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama). Lafadz
ini merupakan bentuk jamak dari “אֱלֹוהַּ” (translit: ‘Ĕlōah). Sufiks jamak “ים” (translit: îm) pada lafadz “‘Ĕlōhîm” berfungsi sebagai jamak
keagungan (plural of majesty) atau disebut juga jamak kehormatan (plural of
respect), sebagaimana di antaranya ditulis oleh Julius (Judah David) Eisenstein
dalam “The Jews Encyclopedia” (1901-1906) Volume IX artikel “Names of
God” bagian “Elohim” (hlm. 161):
The most
common of the originally appellative names of God is Elohim (אלהים), plural in
form though commonly construed with a singular verb of adjective. This is, most
probably, to be explained as the plural of majesty or excellence, expressing
high dignity or greatness
Terjemah
Yang paling
umum dari nama-nama sebutan awal Allah adalah Elohim (אלהים), dalam
bentuk jamak meskipun umumnya diartikan dengan sebuah kata kerja tunggal adjektiva.
Hal ini, kemungkinan besar, ialah menerangkan sebagai jamak keagungan atau
keutamaan, mengungkapkan kewibawaan yang tinggi atau kebesaran
John C. Beckman, Ph.D sebagaimana dikutip oleh Geoffrey
Khan, Ph.D dalam “Encyclopedia of Hebrew Language and Linguistics”
Volume 3 P-Z artikel “Pluralis Majestatis: Biblical Hebrew” (hlm. 145) juga menulis:
The pluralis
majestatis appears most frequently in nouns, particularly אֱלֹהִים ‘ĕlōhîm ‘God (lit. ‘gods’)’
Terjemah:
Pluralis
majestatis (‘bahasa Latin untuk jamak keagungan’ – pen) paling sering muncul
dalam nomina, khususnya אֱלֹהִים ‘ĕlōhîm ‘Allah (harfiah. ‘ilah-ilah)’
Tidak
diketahui persis mengenai akar kata dari ‘Ĕlōah meskipun Kristen
dalam leksikonnya mengklaim bahwa ‘Ĕlōah berakar dari kata “אֵל” (translit: ‘êl). Julius (Judah David) Eisenstein dalam “The
Jews Encyclopedia” (1901-1906) Volume IX artikel “Names of God” bagian
“Elohim” (hlm. 161) menulis:
The
root-meaning of the word is unknown
Terjemah:
Makna-akar
dari kata tersebut (‘Ĕlōah – pen) tidak diketahui
Juga mengenai
kata “‘êl”, Julius
(Judah David) Eisenstein menulis dalam halaman yang sama di “The Jews
Encyclopedia”:
The commonly
accepted derivation of this name from the Hebrew root , “to be strong” ... As
in the case of Elohim, it is necessary to admit that the original meaning is
not certainly known.
Terjemah:
Derivasi yang umum diterima dari nama ini (êl – pen) dari akar kata Ibrani אול, “menjadi kuat”, sangat diragukan ... Seperti dalam kasus
Elohim, mestilah diakui bahwa makna aslinya tidak diketahui secara pasti.
Namun tidak dapat disangkal lagi bahwa lafadz “‘Ĕlōhîm”-lah yang digunakan untuk
menyebut Sang Pencipta:
Kejadian 1: 1
Teks Ibrani (diakritik)
בְּרֵאשִׁ֖ית בָּרָ֣א אֱלֹהִ֑ים אֵ֥ת הַשָּׁמַ֖יִם וְאֵ֥ת
הָאָֽרֶץ
Translit interlinear
Bərêšîṯ (pada
mulanya) bārā (menciptakan) ‘Ĕlōhîm (Allāh) ’êṯ haššāmayim
(langit) wə’êṯ (dan) hā’āreṣ (bumi)
TB LAI
Pada mulanya
Allah menciptakan langit dan bumi.
Di dalam
Injil Perjanjian Baru kita membaca:
Injil Markus
15: 34
Teks Greek
dan translit
Ἐλωῒ (Elōi) Ἐλωῒ
(Elōi) λεμὰ (lema) σαβαχθάνι (sabaḥthani)
TB LAI
Eloi, Eloi,
lama sabakhtani ?
Kata “Ἐλωῒ”
(translit: Elōi) di atas diambil dari bahasa Aram Kuno yakni “Ĕlāhî” atau yang
dalam teks Estrangela Edessa ditulis sebagai “ܐܠܝ” (lihat
penyebutan “Ĕlāhî” dalam teks Aram kitab Daniel 6: 22). Sufiks “ܝ” (Yūd) pada
kata Aram “Ĕlāhî” berfungsi sebagai posesif dari orang pertama (tunggal).
Baik “‘Ĕlōhîm” (jamak) atau “‘Ĕlōah” (tunggal) dalam bahasa Ibrani; “‘Ĕlāhā” atau “Alāhā”
dalam bahasa Aram; dan “Allāh” dalam bahasa Arab, merupakan lafadz yang sama untuk
menyebut Dzat Yang Patut Disembah dalam rumpun bahasa Semitik.
Kalaupun di
dalam Perjanjian Lama kita membaca bahwa lafadz “‘Ĕlōhîm” pernah
digunakan sebagai nama sembahan (berhala) kaum Pagan, yang demikian ini bukan
berarti bahwa lafadz “‘Ĕlōhîm” diambil dari tradisi kaum Pagan,
melainkan kaum Pagan-lah yang telah menyalahgunakan nama “‘Ĕlōhîm” sebagai nama
sembahan mereka.
Orang-orang Yahudi sendiri tidak menyangkal “‘Ĕlōhîm” sebagai lafadz untuk
menyebut Tuhan. Hanya saja bagi mereka berdasarkan “הֲלָכָה” (translit: Halakha) atau Hukum Yudaisme, nama yang
paling utama dan paling kudus untuk menyebut Tuhan adalah tetragramatton
“יהוה” (translit: YHWH).
Empat huruf
konsonan ini, yang dilafalkan secara beragam oleh sebagian pihak
Kristen dengan menambahkan niqqud secara spekulatif, sesungguhnya tidak
diketahui pelafalannnya secara persis:
Judaism
teaches that while God’s name exists in written form, it is too holy to be
pronounced. The result has been that, over the last 2,000 years, the correct
pronunciation has been lost. (Buku “Mankind’s Search for God”, Bab 9
“Searching for God Through Scripture and Tradition”, bagian “Judaism
and God’s Name”, hlm. 225)
Terjemah
Yudaisme
mengajarkan bahwa sementara nama Tuhan ada dalam bentuk tertulis, ia terlalu
kudus untuk diucapkan. Alhasil bahwa, selama 2000 tahun terakhir, pengucapan
yang benar telah hilang.
Jika harus
melafalkannya secara spekulatif, maka saya sendiri (penulis) sesungguhnya lebih
memilih melafalkannya sebagai dhomir “هُوَ” (translit: Huwa) yang artinya “Dia”, atau yang dalam Alkitab
Terjemahan Lama (LAI) diterjemahkan sebagai, “Hua”.
Tetragramatton
“יהוה” sendiri sesungguhnya bukanlah lafadz universil untuk
menyebut Tuhan, melainkan lafadz yang secara khusus hanya diperuntukkan bagi orang-orang
Israel saja, utamanya bagi mereka yang dibebaskan dari perbudakan negeri Mesir
pada masa Musa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar