Minggu, 08 November 2015

‘ĔLŌHÎM





אֱלֹהִים” (translit: ‘Ĕlōhîm) adalah salah satu lafadz untuk menyebut Dzat Yang Patut Disembah dalam Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama). Lafadz ini merupakan bentuk jamak dari “אֱלֹוהַּ” (translit: ‘Ĕlōah). Sufiks jamak “ים” (translit: îm) pada lafadz “‘Ĕlōhîm” berfungsi sebagai jamak keagungan (plural of majesty) atau disebut juga jamak kehormatan (plural of respect), sebagaimana di antaranya ditulis oleh Julius (Judah David) Eisenstein dalam “The Jews Encyclopedia” (1901-1906) Volume IX artikel “Names of God” bagian “Elohim” (hlm. 161):

The most common of the originally appellative names of God is Elohim (אלהים), plural in form though commonly construed with a singular verb of adjective. This is, most probably, to be explained as the plural of majesty or excellence, expressing high dignity or greatness

Terjemah
Yang paling umum dari nama-nama sebutan awal Allah adalah Elohim (אלהים), dalam bentuk jamak meskipun umumnya diartikan dengan sebuah kata kerja tunggal adjektiva. Hal ini, kemungkinan besar, ialah menerangkan sebagai jamak keagungan atau keutamaan, mengungkapkan kewibawaan yang tinggi atau kebesaran

John C. Beckman, Ph.D sebagaimana dikutip oleh Geoffrey Khan, Ph.D dalam “Encyclopedia of Hebrew Language and Linguistics” Volume 3 P-Z artikel “Pluralis Majestatis: Biblical Hebrew” (hlm. 145) juga menulis:

The pluralis majestatis appears most frequently in nouns, particularly אֱלֹהִים ‘ĕlōhîm ‘God (lit. ‘gods’)’

Terjemah:
Pluralis majestatis (‘bahasa Latin untuk jamak keagungan’ – pen) paling sering muncul dalam nomina, khususnya אֱלֹהִים ‘ĕlōhîm ‘Allah (harfiah. ‘ilah-ilah)’

Tidak diketahui persis mengenai akar kata dari ‘Ĕlōah meskipun Kristen dalam leksikonnya mengklaim bahwa ‘Ĕlōah berakar dari kata “אֵל” (translit: ‘êl). Julius (Judah David) Eisenstein dalam “The Jews Encyclopedia” (1901-1906) Volume IX artikel “Names of God” bagian “Elohim” (hlm. 161) menulis:

The root-meaning of the word is unknown

Terjemah:
Makna-akar dari kata tersebut (‘Ĕlōah – pen) tidak diketahui

Juga mengenai kata “‘êl”, Julius (Judah David) Eisenstein menulis dalam halaman yang sama di “The Jews Encyclopedia”:

The commonly accepted derivation of this name from the Hebrew root , “to be strong” ... As in the case of Elohim, it is necessary to admit that the original meaning is not certainly known.

Terjemah:
Derivasi yang umum diterima dari nama ini (êl – pen) dari akar kata Ibrani אול, “menjadi kuat”, sangat diragukan ... Seperti dalam kasus Elohim, mestilah diakui bahwa makna aslinya tidak diketahui secara pasti.

Namun tidak dapat disangkal lagi bahwa lafadz “‘Ĕlōhîm”-lah yang digunakan untuk menyebut Sang Pencipta:

Kejadian 1: 1
Teks Ibrani (diakritik)
בְּרֵאשִׁ֖ית בָּרָ֣א אֱלֹהִ֑ים אֵ֥ת הַשָּׁמַ֖יִם וְאֵ֥ת הָאָֽרֶץ

Translit interlinear
Bərêšîṯ (pada mulanya) bārā (menciptakan) ‘Ĕlōhîm (Allāh) ’êṯ haššāmayim (langit) wə’êṯ (dan) hā’āreṣ (bumi)

TB LAI
Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.

Di dalam Injil Perjanjian Baru kita membaca:

Injil Markus 15: 34
Teks Greek dan translit
Ἐλωῒ (Elōi) Ἐλωῒ (Elōi) λεμὰ (lema) σαβαχθάνι (sabaḥthani)

TB LAI
Eloi, Eloi, lama sabakhtani ?

Kata “Ἐλωῒ” (translit: Elōi) di atas diambil dari bahasa Aram Kuno yakni “Ĕlāhî” atau yang dalam teks Estrangela Edessa ditulis sebagai “ܐܠܝ” (lihat penyebutan “Ĕlāhî” dalam teks Aram kitab Daniel 6: 22). Sufiks “ܝ” (Yūd) pada kata Aram “Ĕlāhî” berfungsi sebagai posesif dari orang pertama (tunggal).

Baik “‘Ĕlōhîm” (jamak) atau “‘Ĕlōah” (tunggal) dalam bahasa Ibrani; “‘Ĕlāhā” atau “Alāhā” dalam bahasa Aram; dan “Allāh” dalam bahasa Arab, merupakan lafadz yang sama untuk menyebut Dzat Yang Patut Disembah dalam rumpun bahasa Semitik.

Kalaupun di dalam Perjanjian Lama kita membaca bahwa lafadz “‘Ĕlōhîm” pernah digunakan sebagai nama sembahan (berhala) kaum Pagan, yang demikian ini bukan berarti bahwa lafadz “‘Ĕlōhîm” diambil dari tradisi kaum Pagan, melainkan kaum Pagan-lah yang telah menyalahgunakan nama “‘Ĕlōhîm” sebagai nama sembahan mereka.

Orang-orang Yahudi sendiri tidak menyangkal “‘Ĕlōhîm” sebagai lafadz untuk menyebut Tuhan. Hanya saja bagi mereka berdasarkan “הֲלָכָה” (translit: Halakha) atau Hukum Yudaisme, nama yang paling utama dan paling kudus untuk menyebut Tuhan adalah tetragramatton יהוה” (translit: YHWH).

Empat huruf konsonan ini, yang dilafalkan secara beragam oleh sebagian pihak Kristen dengan menambahkan niqqud secara spekulatif, sesungguhnya tidak diketahui pelafalannnya secara persis:

Judaism teaches that while God’s name exists in written form, it is too holy to be pronounced. The result has been that, over the last 2,000 years, the correct pronunciation has been lost. (Buku “Mankind’s Search for God”, Bab 9 “Searching for God Through Scripture and Tradition”, bagian “Judaism and God’s Name”, hlm. 225)

Terjemah
Yudaisme mengajarkan bahwa sementara nama Tuhan ada dalam bentuk tertulis, ia terlalu kudus untuk diucapkan. Alhasil bahwa, selama 2000 tahun terakhir, pengucapan yang benar telah hilang.

Jika harus melafalkannya secara spekulatif, maka saya sendiri (penulis) sesungguhnya lebih memilih melafalkannya sebagai dhomir “هُوَ” (translit: Huwa) yang artinya “Dia”, atau yang dalam Alkitab Terjemahan Lama (LAI) diterjemahkan sebagai, “Hua”.

Tetragramatton יהוה” sendiri sesungguhnya bukanlah lafadz universil untuk menyebut Tuhan, melainkan lafadz yang secara khusus hanya diperuntukkan bagi orang-orang Israel saja, utamanya bagi mereka yang dibebaskan dari perbudakan negeri Mesir pada masa Musa.

Wassalāmu’alaîkum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar