Sabtu, 31 Oktober 2015

PELAFALAN NAMA ‘ĬSA (‘ALAĬHIS SALĀM) DALAM BAHASA ARAM-SURYANI DAN KESELARASANNYA DALAM KOINE GREEK

I. PENDAHULUAN

Suryani (Leššānā Suryāyā) adalah dialek bahasa Aram dari kota Edessa (Sekarang: Şanlıurfa) di Turki Timur dan merupakan varian terakhir dari bahasa Aram yang masih lestari hingga sekarang ini. Bahasa Aram sendiri merupakan bahasa ibu yang dituturkan ‘Ĭsa (‘alaĭhis salām) atau “Yesus” semasa hidupnya, dan merupakan bagian dari kelompok bahasa Semitik (yang juga mencakup bahasa Arab dan Ibrani).

Pada abad kelima, bahasa Aram dialek Suryani terpecah menjadi dua dialek besar, yakni dialek Timur (Nestorian/Kaldean) dan dialek Barat (Serto/Maronit/Yakobit). Perpecahan ini juga menghasilkan perbedaan di antara keduanya, seperti dalam hal penulisan abjad, gramatikal, dan pelafalan.

Adapun abjad tertua sebelum terpecah menjadi dua dialek tersebut dikenal dengan nama “Estrangela Edessa”. Yang paling mendekati bentuknya dengan abjad ini adalah abjad dari dialek Timur, seperti huruf Gāmal, Tēṯ, Kāf, Lāmaḏ, Ṣāḏē, dan sebagainya.

Berikut ini saya sajikan perbandingan fonem vokal antara dialek Timur dan dialek Barat:

No
Nestorian (Dialek Timur)
Yakobit (Dialek Barat)
1
2
3
4
5
6
7
a
ā
i
ē
e
u
o
a
o
i
i dan e
e
u
u
Sumber: Takamitsu Muraoka & Sebastian P. Brock, Classical Syriac: A Basic Grammar with a Chrestomathy, (Otto Harrassowitz Verlag, 2005), hlm. 7

Dilihat dari fonem vokal sejumlah kata Aram yang digunakan Yesus dalam Injil, seperti akata “εφφαθα” (Ephphatha) atau “Efata” dalam Injil Markus 7: 34, tampak lebih identik dengan kata Aram “Ēpṯāḥ” dari dialek Timur ketimbang “Ēpṯoḥ” dalam dialek Barat.

Prof. Theodore H. Robinson, Litt.D, D.D, dalam bukunya berjudul “Paradigms and Exercises in Syriac Grammar” (hlm. 4) menulis, bahwa secara luas bahasa Aram-Suryani dialek Timur diyakini telah dilestarikan dalam bentuk yang lebih kuno dari Suryani Klasik.

Sekitar tahun “400 M”, komunitas Kristen berbahasa Aram-Suryani mulai menerjemahkan Bibel ke dalam bahasa Aram-Suryani, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, yang dikenal dengan nama “Pšiṭṭā”, yang makna harfiahnya “sederhana”. Namun sayangnya untuk versi online yang ada sekarang ini, ada banyak kesalahan (baca: ketidakjujuran) yang ditampilkan, terutama dalam hal pelafalan suatu kata.

II. PELAFALAN NAMA ‘ĬSA (‘ALAĬHIS SALĀM) DALAM BAHASA ARAM-SURYANI

Dalam Pešiṭṭā, nama ‘Ĭsa (‘alaĭhis salām) ditulis sebagai “ܝܫܘܥ”, yang terdiri dari huruf “ܝ” (Yōd), “ܫ” (Šīn), “ܘ” (Wāw), dan “ܥ” (‘E). Untuk mengetahui pelafalannya, maka kita harus terlebih dahulu mengetahui pelafalan masing-masing huruf yang menyusun nama tersebut menurut tradisi Aram-Suryani, khususnya mengenai pelafalan huruf “ܝ” (Yōd) dan “ܘ” (Wāw).

John F. Healey, Ph.D dalam bukunya berjudul “Leshono Suryoyo: First Studies in Syriac” (hlm. 8) menulis:

ܝ (y) was used to represent i (e)
ܘ (w) was used to represent ō (only preserved normally in East Syriac pronunciation) and ū (as in “moon”). The East Syriac script (see pp. 140-141) distinguishes between ܘ̣ = u and ܘ̇ = o, and these dots are sometimes imported into the West Syriac script to reflect the original pronunciation.

Terjemah:
ܝ (y) digunakan untuk mewakili i (e)
ܘ (w) digunakan untuk mewakili ō (biasanya hanya dilestarikan dalam pelafalan bahasa Suryani dialek Timur) dan ū (seperti dalam “moon”). Naskah bahasa Suryani dialek Timur (lihat halaman 140-141) membedakan antara ܘ̣ = u dan ܘ̇ = o, dan titik ini terkadang diimpor ke dalam naskah bahasa Suryani dialek Barat untuk mencerminkan pelafalan asli.

Prof. Theodore H. Robinson, Litt.D, D.D, dalam bukunya berjudul “Paradigms and Exercises in Syriac Grammar” (hlm. 11) menulis:

Of these, ܝ Yūdh was used to represent the i-sound, and ܘ Waw the u-sound ... Yūdh also sometimes represents E and Waw O.

Terjemah:
ܝ Yūdh digunakan untuk mewakili suara-i, dan ܘ Waw suara-u ... Yūdh juga terkadang mewakili E dan Waw O.

Takamitsu Muraoka, Ph.D dan Sebastian P. Brock, D.Phil dalam bukunya berjudul “Classical Syriac: A Basic Grammar with a Chrestomathy” (hlm. 2) menulis:

The letter Waw for o or u and the letter Yodh for i or e

Terjemah:
Huruf Waw untuk o atau u dan huruf Yodh untuk i atau e

Berdasarkan otoritas-otoritas di atas, dapat kita ketahui bahwa huruf ܝ” (Yōd) dalam tradisi Aram-Suryani digunakan untuk mewakili vokal “i” atau “e”. Maksudnya di sini adalah diartikulasikan secara palatal, yakni “iy” atau “ey”. Sebab, bagaimanapun juga, pelafalannya ini tetap berdasarkan karakter huruf “Yōd” itu sendiri yang merupakan jenis huruf palatal. Sedangkan huruf “ܘ” (Wāw) digunakan untuk mewakili vokal “u” atau “o”. Adapun vokal “o”, sebagaimana dikatakan John F. Healey di atas, hanya dilestarikan dalam dialek Timur. Sebaliknya, dalam dialek Barat huruf ܘ” (Wāw) divokalkan sebagai “u” (lihat perbandingan fonem vokal antara dialek Timur dan dialek Barat pada Pendahuluan). Jika diselaraskan dengan penulisan namanya dalam teks Greek, maka adalah lebih tepat jika huruf ܘ” (Wāw) diucapkan sebagai “o”. Sebab, huruf vokal setelah huruf semi vokal “σ” (Sigma) pada skrip “ιησους” ialah huruf “ο” (Omikron), bukan “υ” (Upsilon). Karena setelah huruf  “ܘ” (Wāw) dalam teks Aram-Suryani terdapat konsonan “ܥ” (‘E), maka suara “o” diucapkan dengan berhenti di faring (hulu kerongkongan).

Dengan demikian, skrip “ܝܫܘܥ” dalam bahasa Aram dialek Suryani dilafalkan sebagai Ĭšoʼ (baca: Iysyoʼ) atau Ĕšoʼ (baca: Eysyoʼ). Umumnya para pakar bahasa Aram-Suryani lebih memilih melafalkannya sebagai Ĭšo’ ketimbang Ĕšoʼ.

III. KESELARASAN PELAFALAN NAMANYA DALAM KOINE GREEK

Dalam teks Greek, nama “Yesus” ditulis sebagai “ιησους”, yang terdiri dari “ιησο” sebagai the proper name (nama diri) dan sufiks “ος” (tunggal-maskulin). Karena terjadi penggandaan vokal “ο” akibat bertemunya huruf “ο” pada the proper name “ιησο” dan huruf “ο” pada sufiks “ος”, maka rangkap vokal ini berkontraksi menjadi “ου”.

Prof. John Williams White dalam bukunya berjudul “First Greek Book” (hlm. 215) menulis:

ο + ο gives ου

Jika ditulis tanpa menuruti aturan kontraksi vokal, maka namanya dalam teks Greek berupa “ιησο-ος”.

Selanjutnya, mengenai huruf “ι” (Iota) dan “η” (Eta). Pada periode Koine Greek dan juga Modern, huruf “ι” (Iota) digunakan untuk mewakili suara “i”. Berbeda dengan pada periode Attik dimana huruf “ι” (Iota) bisa diucapkan sebagai sebagai “ī” (panjang) dan bisa juga diucapkan sebagai “i” (pendek). Sedangkan huruf “η” (Eta) pada periode Koine Greek diucapkan sebagai “ey”. Jadi, jika kita menuruti pengucapan pada periode Koine Greek, kombinasi huruf “ιη” pada skrip “ιησους” dilafalkan sebagai “iey”.

Dus, pelafalan untuk skrip “ιησο” (tanpa sufiks ος) adalah “Ieyso”. Kemungkinan pelafalan ini diambil dari pelafalan Eysyo’, dimana huruf Aram “ܝ” (Yōd) dilafalkan sebagai “ey” dengan vokal pembuka “i” secara glotal dan pendek/ringan. Berbeda dengan pelafalannya dalam bahasa Aram; dalam Koine Greek, vokal “o” pada skrip “ιησο” tidak berhenti di faring. Sebab, baik konsonan Ibrani “ע” (‘ayin) maupun konsonan Aram “ܥ” (‘E), tidak memiliki padanan dalam abjad Koine Greek.

IV. PENUTUP

Demikianlah pelafalan nama ‘Ĭsa (‘alaĭhis salām) dalam bahasa Aram-Suryani dan Koine Greek. Adapun pelafalan namanya sebagai “Yesus” tidak lain didasarkan pada translit huruf belaka, tanpa memperhatikan lagi fonologi vokalnya. Semoga bermanfaat.


Wassalāmu’alaǐkum

Kamis, 29 Oktober 2015

NUBǓWAH MENGENAI NABǏ MUḤAMMAD (SHOLLALLĀHU ‘ALAǏHI WA SALLAM) DALAM KIDUNG AGUNG – PERJANJIAN LAMA






I. PENDAHULUAN

Kidung Agung (Šîr Haššîrîm) adalah salah satu “Megîllōt” (Gulungan) dari Kəṯûḇîm, bagian terakhir Tanakh atau Alkitab Ibrani, dan kelima dari kitab-kitab “Kebijaksanaan” dalam Perjanjian Lama Kristen. Dalam Yudaisme modern, Kidung Agung dibaca di Sînagogē pada hari Šabāth selama Paskah (Ibrani: Pesaḥ), yang menandai awal dari panen gandum serta memperingati Keluaran dari Mesir. Tradisi Yahudi membacanya sebagai alegori dari hubungan “Ělōh-îm”(Allāh) dan Israel. Sedangkan tradisi Kristen, selain menghargai arti harfiah sebagai sebuah lagu romantis antara pria dan wanita, juga membacanya sebagai alegori dari kasih Kristus bagi Gereja, sebagai bentuk penyesuaian dari alegori Yudaisme.

Kanonisasi Kidung Agung dalam Yudaisme sendiri bukan tanpa perdebatan antar Rabî Yahudi, mengingat isinya yang banyak mengandung unsur-unsur erotis. Rabî Yǒsě ben-Ḥalaftha adalah salah seorang Rabî Yahudi yang menentang keras dikanonkannya kitab Kidung Agung dalam Yudaisme.

Selain itu, kesatuan syair-syair dalam kitab Kidung Agung hingga kini juga masih diperdebatkan, dan belum ada kesepakatan atau titik temu apakah syair-syair dalam kitab Kidung Agung merupakan satu kesatuan syair atau tidak.

Mengenai siapa penulis dari kitab Kidung Agung dan kapan penulisannya juga belum dapat dipastikan. Ungkapan “li-Šelōmōh” pada muqaddimah kitab ini tidak harus bermakna “oleh Salomo”, melainkan juga bisa bermakna “bagi Salomo”. Dalam kitab Amsal kita membaca:

Amsal 25: 1            
Juga ini adalah amsal-amsal Salomo yang dikumpulkan pegawai-pegawai Hizkia, raja Yehuda.

Karenanya, bisa jadi yang menulis dan mengkompilasi Kidung Agung ini adalah Ḥizqîah ben-‘Āḥāz yang hidup setelah 200 tahun lebih wafatnya Salomo. Selain itu, terdapatnya kata-kata pinjaman di dalamnya, diantaranya kata “appiryōwn” atau “tandu” dalam Kidung Agung 3: 9 yang tidak ada akar katanya dalam bahasa Ibrani. Kemungkinan kata ini dipinjam dari bahasa Greek (Yunani Koine) yakni “ϕορείον” (translit: foreion). Yang demikian ini mengisyaratkan bahwa penyusunan kitab Kidung Agung dilakukan sesudah zaman Salomo dan sangat mungkin telah mengalami interpolasi (penyisipan).

Secara moralitas dan religius, adalah tidak mungkin syair-syair dalam kitab Kidung Agung seluruhnya digubah oleh Salomo yang bijaksana dan bergelar “Yəḏîḏəyāh” (kekasih Tuhan) ini, terutama untuk syair-syair yang bersifat vulgar. Bisa jadi Salomo banyak menggubah syair pada masa hidupnya. Namun syair-syair itu telah mengalami interpolasi, sehingga telah bercampur aduk antara yang Haq dan yang bāthil. Karenanya, ketika Muslim mengidentifikasi Kidung Agung 5: 16 sebagai nubǔwah bagi Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam), maka ini merupakan bagian dari upaya memisahkan yang Haq dari yang bāthil.

II. MUḤAMMAD DISEBUTKAN DENGAN NAMA

Kidung Agung 5: 16
Teks konsonan (Ibrani)
חכו ממתקים וכלו מחמדים זה דודי וזה רעי בנות ירושלם

Teks diakritik (Ibrani)
חִכֹּו מַמְתַקִּים וְכֻלֹּו מַחֲמַדִּים זֶה דֹודִי וְזֶה רֵעִי בְּנֹות יְרוּשָׁלִָם

Translit berdasarkan diakritik
Ḥikkōw mamṯaqqîm wəḵullōw Maḥămad-îm zeh ḏōwḏî wəzeh rê’î bənōwṯ Yərūšālim

Interlinear
Ḥikkōw (mulutnya) mamṯaqqîm (teramat manis) wəḵullōw (dan segala sesuatu padanya) Maḥămad-îm (Muḥammad) zeh (ini) ḏōwḏî (kekasihku) wəzeh (dan ini) rê’î (sahabatku) bənōwṯ (wahai puteri-puteri) Yərūšālim (Yerusalem)

Terjemah
Mulutnya teramat manis dan segala sesuatu padanya. Maḥămad-îm, inilah kekasihku dan inilah sahabatku wahai puteri-puteri Yerusalem !

Kata “מַחֲמַדִּים” (Maḥămad-îm) tersusun dari kata “מַחִמַד” (Maḥmad) dengan sufiks “ים” (ym). Sufiks “ים” di sini fungsinya sama dengan sufiks “ים” pada lafadz “אֱלֹהִים” (’Ĕlōh-îm), yakni sebagai jamak kehormatan atau keagungan. Sedangkan kata “מַחִמַד” berasal dari kata “חִמַד” (Ḥamad) dengan prefiks nomina “מ” (Mēm).

William Gesenius dalam bukunya berjudul “A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament” (hal. 326) menulis bahwa kata חִמַד” (Ḥamad) berpadanan dengan kata Arab “حَمِدَ” (Ḥamida), yang artinya “puji”. Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa kata Ibrani “מַחִמַד” (Maḥmad) dan kata Arab “مُحَمَّدْ” (Muhammad) adalah berpadanan. Tinggal lagi untuk menentukan apakah ini merupakan the proper name (nama diri) atau bukan ialah dengan melihat konteksnya penggunaannya.

Jika kita perhatikan komposisi kata dan sufiks yang digunakan pada Kidung Agung 5: 16, sesungguhnya sangat jelas bahwa Salomo tidak sedang berdeklamasi tentang seorang perempuan meskipun dia menyebutnya dengan istilah “דֹודִי” (ḏōwḏî) atau “kekasihku”. Berikut saya ambil beberapa contoh kata yang digunakan:

a) Sufiks ḥolam pada kata “חִכֹּו” (ḥikkōw) dan “וְכֻלֹּו” (wəḵullōw) adalah sufiks untuk menunjukkan orang ketiga dengan gender maskulin, bukan feminin.
b) Sufiks “ים” (îm) tanpa niqqud pataḥ pada kata “מַמְתַקִּים” (mamṯaqqîm) dan kata “מַחֲמַדִּים” (Maḥămad-îm) adalah jamak untuk gender maskulin, bukan feminin.
c) Pronomina “זֶה” (zeh) atau “ini” adalah pronomina untuk gender maskulin. Dalam bahasa Arab, kata Ibrani ini sama dengan isim isyarah “هَذَا” (hadzā). Sedangkan untuk gender feminin, maka digunakan bentuk “זֹו” (zoh), atau dalam bahasa Arab “هَذِهِ” (hadzihi).

Dus, dengan memperhatikan komposisi kata dan sufiks yang digunakan pada Kidung Agung 5: 16, adalah jelas bahwa yang menjadi subjek syair Salomo dalam konteks ayat ini bukanlah seorang perempuan, melainkan laki-laki; seorang laki-laki yang dikasihinya.

Kembali ke Kidung Agung 5: 16, di situ kita membaca “ḥikkōw mamṯaqqîm” (mulutnya teramat manis). Maksud dari “mulutnya” di sini adalah tutur katanya (lihat terjemahan dalam Alkitab TB LAI). Berikut saya kutipkan salah satu hadits dari Shohǐh Muslim mengenai tutur kata Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) semasa hidupnya:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ حَدَّثَنِي سَعِيدٌ وَهُوَ ابْنُ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ خَدَمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَ سِنِينَ فَمَا أَعْلَمُهُ قَالَ لِي قَطُّ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا وَلَا عَابَ عَلَيَّ شَيْئًا قَطُّ

Terjemah
Telah menceritakan kepada kami Abǔ Bakr bin Abǔ Syaǐbah dan Ibnu Numaǐr keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Bisyr; telah menceritakan kepada kami Zakarǐya; telah menceritakan kepadaku Sa’ǐd yaitu Ibnǔ Abu Burdah dari Anas dia berkata: “Aku melayani Rasǔlullāh Shollallāhu ‘alaihi wa sallam selama sembilan tahun, sama sekali tidak pernah aku dapatkan beliau menegurku dengan, ‘Kenapa kamu lakukan ini dan ini.’ Dan sama sekali beliau tidak pernah mencelaku sedikitpun.”

Demikianlah pengalaman Anas bin Mālik (rodhiyallāhu ‘anhu) selama sembilan tahun melayani Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam). Tiada pernah terucap sepatah pun kata kasar lagi bercela dari beliau (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam). Sesungguhnya ada begitu banyak hadits mengenai betapa manisnya tutur kata Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam), yang tidak mungkin untuk saya kutipkan satu persatu di sini. Namun saya rasa cukuplah hadits di atas menjadi gambaran mengenai bagaimana tutur kata beliau (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam).

Selain itu, masih dalam Kidung 5: 16 dimana di situ dikatakan “וְכֻלֹּו” (wəḵullōw) yang berarti “dan segala sesuatu padanya”. Sufiks holam atau “nya” pada kata ini adalah menunjuk pada kata “חִכֹּו” (ḥikkōw) atau “mulutnya”, dimana memang pada mulut Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) telah diletakkan segala firman Allāh Tabāroka wa Ta’ala yang menjadi penyempurna atau pelengkap dari Kitāb-kitāb terdahulu. Kata “כֹּל” (kol) dalam bahasa Ibrani juga bermakna “lengkap”.

III. BUKTI LEBIH LANJUT

Berdasarkan perikopnya, konteks Kidung Agung 5: 16 ini dimulai dari ayat 9. Jika kita membaca ayat ke-10 dalam kitab Kidung Agung pasal 5 ini, maka akan semakin jelas bahwa konteks ayat ini merupakan nubǔwah bagi Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam).

Kidung Agung 5: 10
Teks konsonan (Ibrani)
דודי צח ואדום דגול מרבבה

Teks diakritik (Ibrani)
דֹּודִי צַח וְאָדֹום דָּגוּל מֵרְבָבָה

Translit berdasarkan diakritik
Dōwḏî ṣaḥ wə’āḏōwm dāgūl mêrəḇāḇāh

Interlinear
Dōwḏî (kekasihku) ṣaḥ (putih) wə’āḏōwm (dan kemerah-merahan) dāgūl (pemimpin) mêrəḇāḇāh (dari/di antara sepuluh ribu)

Terjemah
Kekasihku putih dan kemerah-merahan, pemimpin di antara sepuluh ribu (orang)

Mari kita lihat kesesuaiannya dengan Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam). Berikut saya kutipkan salah satu hadits dari Musnad Aḥmad mengenai warna kulit Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam):

حَدَّ ثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبُو الشَّعْثَاءِ عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا أَبُو خَلِدٍ الْأَ حْمَرُ سُلَيْمَانُ بْنُ حَيَّانَ عَنْ حَجَّاجٍ عَنْ عُثْمَانَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْمَكِّيِّ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ سُئِلِ عَلِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ صِفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَا قَصِيرٌ ولَا طَوِيلٌ مُشْرَبًا لَوْنُهُ حُمْرَةً حَسَنَ الشَّعَرِ رَجِلَهُ ضَخْمَ الْكَرَادِيسِ شَثْنَ الْكَفَّيْنِ ضَخْمَ الْهَامَةِ طَوِيلَ الْمَسْرُبَةِ إِذَا مَشَى تَكَفَّأَ كَأَنَّمَا يَنْحَدِرُ مِنْ صَبَبٍ لَمْ أَرَ مِثْلَهُ قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Terjemah
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh; telah menceritakan kepadaku Abǔ Sya’tsa’ ‘Alǐ bin al-Hasan bin Sulaǐmān; telah menceritakan kepada kami Abǔ Kholid al-Ahmar, Sulaǐmān bin Hayyān dari Hajjaj dari ‘Utsmān dari Abǔ ‘Abdullāh al-Makkǐ dari Nafi’ bin Jubaǐr bin Muth’im berkata; ‘Alǐ rodhiyallāhu ‘anhu ditanya tentang ciri-ciri Nabǐ Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam, maka dia menjawab: “Tidak pendek dan tidak terlalu tinggi, warna kulitnya putih kemerah-merahan, rambutnya bagus dan bergelombang, tulang pangkalnya besar, jari-jari tangannya kasar, kepalanya besar dan rambut dadanya panjang. Jika beliau berjalan tegak seolah-olah sedang turun ke tempat yang rendah. Saya belum pernah menjumpai orang seperti beliau Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam.”

Demikian di antaranya shifat Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) yang digambarkan oleh ‘Alǐ bin Abǐ Thalib (rodhiyallāhu’anhu), dimana warna kulit beliau putih kemerah-merahan. Selanjutnya, mari kita simak salah satu hadits dari Shohǐh Bukharǐ berikut ini:

حَدَّثَنِي مَحْمُودٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ قَالَ أَخْبَرَنِي الزُّهْرِيُّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَاأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِي رَمَضَانَ مِنْ الْمَدِينَةِ وَمَعَهُ عَشَرَةُ آلَافٍ وَذَلِكَ عَلَى رَأْسِ ثَمَانِ سِنِينَ وَنِصْفٍ مِنْ مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةَ فَسَارَ هُوَ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إِلَى مَكَّةَ يَصُومُ وَيَصُومُونَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ وَهُوَ مَاءٌ بَيْنَ عُسْفَانَ وَقُدَيْدٍ أَفْطَرَ وَأَفْطَرُواقَالَ الزُّهْرِيُّ وَإِنَّمَا يُؤْخَذُ مِنْ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآخِرُ فَالْآخِرُ

Terjemah
Telah menceritakan kepadaku Mahmǔd; telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaq; telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Azzuhrǐ dari ‘Ubaǐdillāh bin Abdullāh dari Ibnu ‘Abbās rodhiyallāhu ‘anhuma, bahwasanya Nabǐ Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam pernah berangkat di bulan Romadhōn dari Madǐnah bersama sepuluh ribu Shohabāt-nya, itu terjadi tahun kedelapan setengah semenjak tiba beliau di Madǐnah. Beliau dan kaum Muslimǐn yang bersamanya berangkat ke Makkah berpuasa dan para Shohabāt juga turut berpuasa, hingga ketika beliau sampai di Kadǐd, yaitu sebuah sumber mata air antara ‘Usfān dan Qudayd, beliau membatalkan puasanya dan para Shohabāt juga turut membatalkan puasanya. Komentar Azzuhri, perintah Rasǔlullāh Shallallāhu ‘alaǐhi wa sallam yang diambil (dijadikan pedoman) adalah yang akhir, maka yang terakhir itulah yang dijadikan pedoman amal.

Tepat sekali jumlah bilangan Shohābat yang dipimpin oleh Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) dalam peristiwa Fathu Makkah, yakni berjumlah sepuluh ribu orang; pemimpin di antara sepuluh ribu orang !

Selanjutnya, mari kita lihat apa yang terulis dalam Kidung Agung 5: 11
Teks konsonan (Ibrani)
ראשו  כתם פז קוצותיו תלתלים שחרות כעורב

Teks diakritik (Ibrani)
רֹאשֹׁו  כֶּתֶם פָּז קְוּצֹּותָיו תַּלְתַּלִּים שְׁחֹרֹות  כָּעֹורֵב

Translit berdasarkan diakritik
Rōšōw keṯem pāz qəwwṣṣōwṯāw taltalîm šəḥōrōwṯ kā‘ōwrêḇ

Interlinear
Rōšōw (kepalanya) keṯem (emas) pāz (emas murni) qəwwṣṣōwṯāw (rambutnya ikal) taltalîm (tebal) šəḥōrōwṯ (hitam) kā‘ōwrêḇ (seperti burung gagak)

Terjemah
Kepalanya (bagaikan) emas, emas murni; rambutnya ikal, tebal, hitam seperti burung gagak.

Di situ dikatakan bahwa rambutnya ikal, tebal dan hitam. Ini sangat sesuai sekali dengan shifat rambut Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam). Pertama, rambut Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) adalah ikal, sebagaimana digambarkan dalam salah satu hadits dari Shohǐh Bukharǐ berikut ini:

حَدَّثَنَا مُسْلِمٌ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَخْمَ الْيَدَيْنِ لَمْ أَرَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ وَكَانَ شَعَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجِلًا لَا جَعْدَ وَلَا سَبِطَ

Terjemah
Telah menceritakan kepada kami Muslim; telah menceritakan kepada kami Jarǐr dari Qatādah dari Anas dia berkata: “Nabǐ Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam adalah seorang yang berlengan kekar, aku tidak pernah melihat orang yang menyerupainya, sedangkan rambut Nabǐ Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam adalah ikal, tidak lurus dan tidak pula keriting.”

Kedua, rambut Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) adalah lebat (tebal), sebagaimana digambarkan dalam salah satu hadits dari Shohǐh Muslim berikut ini:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُولُا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مَرْبُوعًا بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ عَظِيمَ الْجُمَّةِ إِلَى شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Terjemah
Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin al-Mutsanna dan Muḥammad bin Basysyār keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Ja’far; telah menceritakan kepada kami Syu’bah dia berkata, aku mendengar Abǔ Ishaq berkata, aku mendengar Al Barā’ dia berkata: “Rosǔlullāh Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam itu berperawakan sedang, berpundak bidang, rambutnya lebat terurai ke bahu hingga sampai kedua daun telinganya. Pada suatu ketika, beliau pernah mengenakan pakaian merah, tiada seorangpun yang lebih tampan dari beliau Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam.”

Selain ikal dan tebal (lebat), shifat rambut Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) juga berwarna hitam, dalam hal ini sedikit sekali ubannya, sebagaimana digambarkan dalam salah satu hadits dari Shohǐh Muslim berikut ini:

و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ سَمُرَةَ سُئِلَ عَنْ شَيْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ إِذَا دَهَنَ رَأْسَهُ لَمْ يُرَ مِنْهُ شَيْءٌ وَإِذَا لَمْ يَدْهُنْ رُئِيَ مِنْهُ

Terjemah
Dan telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin al-Mutsanna; telah menceritakan kepada kami Abǔ Dāwud Sulaǐmān bin Dāwud; telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Simāk bin Harb dia berkata, aku mendengar Jabir bin Samuroh ditanya tentang uban Nabǐ Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam, lalu dia menjawab: “Apabila beliau telah meminyaki rambutnya maka ubannya sama sekali tidak kelihatan. Namun apabila beliau tidak memakai minyak, maka ubannya kelihatan hanya sedikit.”

Demikianlah shifat rambut Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) yang sangat sesuai dengan yang dikatakan dalam Kidung Agung 5: 11. Yang demikian ini semakin menguatkan bahwa perikop ayat ini (Kidung Agung 5: 9-16) memang merupakan nubǔwah bagi Baginda Nabǐ Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam.

Kalaupun para penutur bahasa Ibrani – bangsa Israel – tidak menyadari Kebenaran nubǔwah ini, maka yang demikian ini tidaklah dapat dijadikan batu ujian. Dalam Perjanjian Lama, ada begitu banyak ayat yang menyebutkan bahwa orang-orang Israel adalah bangsa yang “qəšêh ‘ōreph” atau “tegar tengkuk” (keras kepala). Cukuplah Allāh Tabāroka wa Ta’ala Memberitahukan kita dalam firman-Nya berikut ini:

ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَعۡرِفُونَهُۥ كَمَا يَعۡرِفُونَ أَبۡنَآءَهُمۡۖ وَإِنَّ فَرِيقٗا مِّنۡهُمۡ لَيَكۡتُمُونَ ٱلۡحَقَّ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ١٤٦

Terjemah
Orang-orang yang telah Kami Beri Al-Kitāb mengenalnya (Muḥammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya segolongan di antara mereka menyembunyikan Kebenaran, padahal mereka mengetahui. (Al-Qur’ān Sǔraḥ Al-Baqaraḥ: 146)

Maha Benar Allāh dengan segara firman-Nya.

Wassalāmu’alaǐkum