I. PENDAHULUAN
Kidung Agung (Šîr Haššîrîm) adalah salah satu “Megîllōt”
(Gulungan) dari Kəṯûḇîm, bagian terakhir Tanakh atau Alkitab Ibrani, dan kelima
dari kitab-kitab “Kebijaksanaan” dalam Perjanjian Lama Kristen. Dalam Yudaisme
modern, Kidung Agung dibaca di Sînagogē pada hari Šabāth selama Paskah (Ibrani:
Pesaḥ), yang menandai awal dari panen gandum serta memperingati Keluaran dari
Mesir. Tradisi Yahudi membacanya sebagai alegori dari hubungan “Ělōh-îm”(Allāh)
dan Israel. Sedangkan tradisi Kristen, selain menghargai arti harfiah sebagai
sebuah lagu romantis antara pria dan wanita, juga membacanya sebagai alegori
dari kasih Kristus bagi Gereja, sebagai bentuk penyesuaian dari alegori
Yudaisme.
Kanonisasi Kidung Agung dalam Yudaisme sendiri bukan tanpa perdebatan
antar Rabî Yahudi, mengingat isinya yang banyak mengandung unsur-unsur erotis.
Rabî Yǒsě ben-Ḥalaftha adalah salah seorang Rabî Yahudi yang menentang keras
dikanonkannya kitab Kidung Agung dalam Yudaisme.
Selain itu, kesatuan syair-syair dalam kitab Kidung Agung
hingga kini juga masih diperdebatkan, dan belum ada kesepakatan atau titik temu
apakah syair-syair dalam kitab Kidung Agung merupakan satu kesatuan syair atau
tidak.
Mengenai siapa penulis dari kitab Kidung Agung dan kapan
penulisannya juga belum dapat dipastikan. Ungkapan “li-Šelōmōh” pada muqaddimah
kitab ini tidak harus bermakna “oleh Salomo”, melainkan juga bisa bermakna
“bagi Salomo”. Dalam kitab Amsal kita membaca:
Amsal 25: 1
Juga ini adalah amsal-amsal Salomo yang dikumpulkan
pegawai-pegawai Hizkia, raja Yehuda.
Karenanya, bisa jadi yang menulis dan mengkompilasi Kidung
Agung ini adalah Ḥizqîah ben-‘Āḥāz yang hidup setelah 200 tahun lebih wafatnya
Salomo. Selain itu, terdapatnya kata-kata pinjaman di dalamnya, diantaranya
kata “appiryōwn” atau “tandu” dalam Kidung Agung 3: 9 yang tidak ada akar
katanya dalam bahasa Ibrani. Kemungkinan kata ini dipinjam dari bahasa Greek (Yunani
Koine) yakni “ϕορείον” (translit: foreion). Yang demikian ini mengisyaratkan
bahwa penyusunan kitab Kidung Agung dilakukan sesudah zaman Salomo dan sangat
mungkin telah mengalami interpolasi (penyisipan).
Secara moralitas dan religius, adalah tidak mungkin syair-syair
dalam kitab Kidung Agung seluruhnya digubah oleh Salomo yang bijaksana dan
bergelar “Yəḏîḏəyāh” (kekasih Tuhan) ini, terutama untuk syair-syair yang
bersifat vulgar. Bisa jadi Salomo banyak menggubah syair pada masa hidupnya. Namun
syair-syair itu telah mengalami interpolasi, sehingga telah bercampur aduk
antara yang Haq dan yang bāthil. Karenanya, ketika Muslim mengidentifikasi Kidung
Agung 5: 16 sebagai nubǔwah bagi Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa
sallam), maka ini merupakan bagian dari upaya memisahkan yang Haq dari yang
bāthil.
II. MUḤAMMAD DISEBUTKAN DENGAN NAMA
Kidung Agung 5: 16
Teks konsonan (Ibrani)
חכו
ממתקים וכלו מחמדים זה דודי וזה רעי בנות ירושלם
Teks diakritik (Ibrani)
חִכֹּו מַמְתַקִּים וְכֻלֹּו מַחֲמַדִּים זֶה
דֹודִי וְזֶה רֵעִי בְּנֹות יְרוּשָׁלִָם
Translit berdasarkan diakritik
Ḥikkōw mamṯaqqîm wəḵullōw Maḥămad-îm zeh ḏōwḏî wəzeh rê’î bənōwṯ
Yərūšālim
Interlinear
Ḥikkōw (mulutnya) mamṯaqqîm (teramat manis) wəḵullōw (dan segala
sesuatu padanya) Maḥămad-îm (Muḥammad) zeh (ini) ḏōwḏî (kekasihku) wəzeh (dan
ini) rê’î (sahabatku) bənōwṯ (wahai puteri-puteri) Yərūšālim (Yerusalem)
Terjemah
Mulutnya teramat manis dan segala sesuatu padanya. Maḥămad-îm,
inilah kekasihku dan inilah sahabatku wahai puteri-puteri Yerusalem !
Kata “מַחֲמַדִּים” (Maḥămad-îm) tersusun dari kata “מַחִמַד” (Maḥmad) dengan sufiks “ים” (ym). Sufiks “ים” di sini fungsinya sama dengan sufiks
“ים” pada lafadz “אֱלֹהִים” (’Ĕlōh-îm), yakni sebagai jamak
kehormatan atau keagungan. Sedangkan kata “מַחִמַד” berasal dari kata “חִמַד” (Ḥamad)
dengan prefiks nomina “מ” (Mēm).
William Gesenius dalam bukunya berjudul “A Hebrew
and English Lexicon of the Old Testament” (hal. 326) menulis bahwa kata “חִמַד” (Ḥamad) berpadanan dengan kata Arab “حَمِدَ” (Ḥamida), yang artinya “puji”. Dengan
demikian, kita dapat berkata bahwa kata Ibrani “מַחִמַד” (Maḥmad) dan kata Arab “مُحَمَّدْ” (Muhammad) adalah berpadanan. Tinggal lagi untuk menentukan apakah ini
merupakan the proper name (nama diri) atau bukan ialah dengan melihat
konteksnya penggunaannya.
Jika kita perhatikan komposisi kata dan sufiks yang
digunakan pada Kidung Agung 5: 16, sesungguhnya sangat jelas bahwa Salomo tidak
sedang berdeklamasi tentang seorang perempuan meskipun dia menyebutnya dengan
istilah “דֹודִי” (ḏōwḏî) atau “kekasihku”. Berikut
saya ambil beberapa contoh kata yang digunakan:
a) Sufiks ḥolam pada kata “חִכֹּו” (ḥikkōw)
dan “וְכֻלֹּו” (wəḵullōw) adalah sufiks untuk menunjukkan
orang ketiga dengan gender maskulin, bukan feminin.
b) Sufiks “ים” (îm) tanpa niqqud pataḥ pada kata “מַמְתַקִּים” (mamṯaqqîm) dan kata “מַחֲמַדִּים” (Maḥămad-îm) adalah jamak untuk
gender maskulin, bukan feminin.
c) Pronomina “זֶה” (zeh) atau “ini” adalah pronomina
untuk gender maskulin. Dalam bahasa Arab, kata Ibrani ini sama dengan isim
isyarah “هَذَا” (hadzā). Sedangkan untuk gender
feminin, maka digunakan bentuk “זֹו” (zoh), atau dalam bahasa Arab “هَذِهِ” (hadzihi).
Dus, dengan memperhatikan komposisi kata dan sufiks yang
digunakan pada Kidung Agung 5: 16, adalah jelas bahwa yang menjadi subjek syair
Salomo dalam konteks ayat ini bukanlah seorang perempuan, melainkan laki-laki;
seorang laki-laki yang dikasihinya.
Kembali ke Kidung Agung 5: 16, di situ kita membaca ⇨ “ḥikkōw mamṯaqqîm” (mulutnya
teramat manis). Maksud dari “mulutnya” di sini adalah tutur katanya (lihat
terjemahan dalam Alkitab TB LAI). Berikut saya kutipkan salah satu hadits dari
Shohǐh Muslim mengenai tutur kata Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa
sallam) semasa hidupnya:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ حَدَّثَنِي سَعِيدٌ وَهُوَ ابْنُ أَبِي
بُرْدَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ خَدَمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تِسْعَ سِنِينَ فَمَا أَعْلَمُهُ قَالَ لِي قَطُّ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا
وَكَذَا وَلَا عَابَ عَلَيَّ شَيْئًا قَطُّ
Terjemah
Telah
menceritakan kepada kami Abǔ Bakr bin Abǔ Syaǐbah dan Ibnu Numaǐr keduanya
berkata; telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Bisyr; telah menceritakan
kepada kami Zakarǐya; telah menceritakan kepadaku Sa’ǐd yaitu Ibnǔ Abu Burdah
dari Anas dia berkata: “Aku melayani Rasǔlullāh Shollallāhu ‘alaihi wa sallam
selama sembilan tahun, sama sekali tidak pernah aku dapatkan beliau menegurku
dengan, ‘Kenapa kamu lakukan ini dan ini.’ Dan sama sekali beliau tidak pernah
mencelaku sedikitpun.”
Demikianlah pengalaman Anas bin Mālik (rodhiyallāhu ‘anhu) selama sembilan tahun melayani
Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam). Tiada pernah terucap sepatah
pun kata kasar lagi bercela dari beliau (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam). Sesungguhnya
ada begitu banyak hadits mengenai betapa manisnya tutur kata Baginda Nabǐ Muḥammad
(Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam), yang tidak mungkin untuk saya kutipkan satu
persatu di sini. Namun saya rasa cukuplah hadits di atas menjadi gambaran
mengenai bagaimana tutur kata beliau (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam).
Selain itu, masih dalam Kidung 5: 16 dimana di situ dikatakan
“וְכֻלֹּו” (wəḵullōw) yang berarti “dan segala
sesuatu padanya”. Sufiks holam atau “nya” pada kata ini adalah menunjuk pada
kata “חִכֹּו” (ḥikkōw) atau “mulutnya”, dimana
memang pada mulut Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) telah
diletakkan segala firman Allāh Tabāroka wa Ta’ala yang menjadi penyempurna atau
pelengkap dari Kitāb-kitāb terdahulu. Kata “כֹּל”
(kol) dalam bahasa Ibrani juga bermakna “lengkap”.
III. BUKTI LEBIH LANJUT
Berdasarkan perikopnya, konteks Kidung Agung 5: 16 ini
dimulai dari ayat 9. Jika kita membaca ayat ke-10 dalam kitab Kidung Agung
pasal 5 ini, maka akan semakin jelas bahwa konteks ayat ini merupakan nubǔwah
bagi Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam).
Kidung Agung 5: 10
Teks konsonan (Ibrani)
דודי צח ואדום דגול מרבבה
Teks diakritik (Ibrani)
דֹּודִי צַח וְאָדֹום דָּגוּל מֵרְבָבָה
Translit berdasarkan diakritik
Dōwḏî ṣaḥ wə’āḏōwm dāgūl mêrəḇāḇāh
Interlinear
Dōwḏî (kekasihku) ṣaḥ (putih) wə’āḏōwm (dan kemerah-merahan)
dāgūl (pemimpin) mêrəḇāḇāh (dari/di antara sepuluh ribu)
Terjemah
Kekasihku putih dan kemerah-merahan, pemimpin di antara
sepuluh ribu (orang)
Mari kita lihat kesesuaiannya dengan Baginda Nabǐ Muḥammad
(Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam). Berikut saya kutipkan salah satu hadits dari
Musnad Aḥmad mengenai warna kulit Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa
sallam):
حَدَّ ثَنَا عَبْد
اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبُو الشَّعْثَاءِ عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ سُلَيْمَانَ
حَدَّثَنَا أَبُو خَلِدٍ الْأَ حْمَرُ سُلَيْمَانُ بْنُ حَيَّانَ عَنْ حَجَّاجٍ
عَنْ عُثْمَانَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْمَكِّيِّ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ
بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ سُئِلِ عَلِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ صِفَةِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَا قَصِيرٌ ولَا
طَوِيلٌ مُشْرَبًا لَوْنُهُ حُمْرَةً حَسَنَ الشَّعَرِ رَجِلَهُ ضَخْمَ الْكَرَادِيسِ
شَثْنَ الْكَفَّيْنِ ضَخْمَ الْهَامَةِ طَوِيلَ الْمَسْرُبَةِ إِذَا مَشَى تَكَفَّأَ
كَأَنَّمَا يَنْحَدِرُ مِنْ صَبَبٍ لَمْ أَرَ مِثْلَهُ قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Terjemah
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullāh;
telah menceritakan kepadaku Abǔ Sya’tsa’ ‘Alǐ bin al-Hasan bin Sulaǐmān; telah
menceritakan kepada kami Abǔ Kholid al-Ahmar, Sulaǐmān bin Hayyān dari Hajjaj
dari ‘Utsmān dari Abǔ ‘Abdullāh al-Makkǐ dari Nafi’ bin Jubaǐr bin Muth’im
berkata; ‘Alǐ rodhiyallāhu ‘anhu ditanya tentang ciri-ciri Nabǐ Shollallāhu
‘alaǐhi wa sallam, maka dia menjawab: “Tidak pendek dan tidak terlalu tinggi,
warna kulitnya putih kemerah-merahan, rambutnya bagus dan bergelombang,
tulang pangkalnya besar, jari-jari tangannya kasar, kepalanya besar dan rambut
dadanya panjang. Jika beliau berjalan tegak seolah-olah sedang turun ke tempat
yang rendah. Saya belum pernah menjumpai orang seperti beliau Shollallāhu
‘alaǐhi wa sallam.”
Demikian di antaranya shifat Baginda Nabǐ
Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) yang digambarkan oleh ‘Alǐ
bin Abǐ Thalib (rodhiyallāhu’anhu), dimana warna kulit beliau putih
kemerah-merahan. Selanjutnya, mari kita simak salah
satu hadits dari Shohǐh Bukharǐ berikut ini:
حَدَّثَنِي
مَحْمُودٌ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ قَالَ أَخْبَرَنِي
الزُّهْرِيُّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَاأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَرَجَ فِي رَمَضَانَ مِنْ الْمَدِينَةِ وَمَعَهُ عَشَرَةُ آلَافٍ وَذَلِكَ عَلَى
رَأْسِ ثَمَانِ سِنِينَ وَنِصْفٍ مِنْ مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةَ فَسَارَ هُوَ
وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إِلَى مَكَّةَ يَصُومُ وَيَصُومُونَ حَتَّى
بَلَغَ الْكَدِيدَ وَهُوَ مَاءٌ بَيْنَ عُسْفَانَ وَقُدَيْدٍ أَفْطَرَ
وَأَفْطَرُواقَالَ الزُّهْرِيُّ وَإِنَّمَا يُؤْخَذُ مِنْ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآخِرُ فَالْآخِرُ
Terjemah
Telah
menceritakan kepadaku Mahmǔd; telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaq; telah
mengabarkan kepada kami Ma’mar dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Azzuhrǐ
dari ‘Ubaǐdillāh bin Abdullāh dari Ibnu ‘Abbās rodhiyallāhu ‘anhuma, bahwasanya
Nabǐ Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam pernah berangkat di bulan Romadhōn dari Madǐnah
bersama sepuluh ribu Shohabāt-nya, itu terjadi tahun kedelapan setengah
semenjak tiba beliau di Madǐnah. Beliau dan kaum Muslimǐn yang bersamanya
berangkat ke Makkah berpuasa dan para Shohabāt juga turut berpuasa, hingga
ketika beliau sampai di Kadǐd, yaitu sebuah sumber mata air antara ‘Usfān dan
Qudayd, beliau membatalkan puasanya dan para Shohabāt juga turut membatalkan
puasanya. Komentar Azzuhri, perintah Rasǔlullāh Shallallāhu ‘alaǐhi wa sallam
yang diambil (dijadikan pedoman) adalah yang akhir, maka yang terakhir itulah
yang dijadikan pedoman amal.
Tepat sekali jumlah bilangan Shohābat yang
dipimpin oleh Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) dalam
peristiwa Fathu Makkah, yakni berjumlah sepuluh ribu orang; pemimpin di antara
sepuluh ribu orang !
Selanjutnya, mari kita lihat apa yang terulis
dalam Kidung Agung 5: 11
Teks konsonan (Ibrani)
ראשו כתם פז קוצותיו תלתלים שחרות כעורב
Teks diakritik
(Ibrani)
רֹאשֹׁו כֶּתֶם פָּז קְוּצֹּותָיו תַּלְתַּלִּים שְׁחֹרֹות כָּעֹורֵב
Translit berdasarkan diakritik
Rōšōw keṯem pāz qəwwṣṣōwṯāw taltalîm šəḥōrōwṯ kā‘ōwrêḇ
Interlinear
Rōšōw (kepalanya) keṯem (emas) pāz (emas murni) qəwwṣṣōwṯāw
(rambutnya ikal) taltalîm (tebal) šəḥōrōwṯ (hitam) kā‘ōwrêḇ (seperti burung
gagak)
Terjemah
Kepalanya (bagaikan) emas, emas murni; rambutnya ikal,
tebal, hitam seperti burung gagak.
Di situ dikatakan bahwa rambutnya ikal, tebal dan hitam. Ini
sangat sesuai sekali dengan shifat rambut Baginda Nabǐ Muḥammad
(Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam). Pertama, rambut Baginda Nabǐ Muḥammad
(Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) adalah ikal, sebagaimana digambarkan dalam
salah satu hadits dari Shohǐh Bukharǐ berikut
ini:
حَدَّثَنَا
مُسْلِمٌ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَخْمَ الْيَدَيْنِ لَمْ أَرَ بَعْدَهُ
مِثْلَهُ وَكَانَ شَعَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجِلًا
لَا جَعْدَ وَلَا سَبِطَ
Terjemah
Telah
menceritakan kepada kami Muslim; telah menceritakan kepada kami Jarǐr dari Qatādah
dari Anas dia berkata: “Nabǐ Shollallāhu ‘alaǐhi
wa sallam adalah seorang yang berlengan kekar, aku tidak pernah melihat orang
yang menyerupainya, sedangkan rambut Nabǐ Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam adalah ikal,
tidak lurus dan tidak pula keriting.”
Kedua, rambut Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam)
adalah lebat (tebal), sebagaimana digambarkan dalam salah satu hadits dari Shohǐh Muslim berikut ini:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَقَ قَالَ
سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُولُا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلًا مَرْبُوعًا بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ عَظِيمَ
الْجُمَّةِ إِلَى شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ مَا رَأَيْتُ
شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Terjemah
Telah
menceritakan kepada kami Muḥammad bin al-Mutsanna dan Muḥammad bin Basysyār
keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Ja’far; telah
menceritakan kepada kami Syu’bah dia berkata, aku mendengar Abǔ Ishaq berkata,
aku mendengar Al Barā’ dia berkata: “Rosǔlullāh
Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam itu berperawakan sedang, berpundak bidang, rambutnya
lebat terurai ke bahu hingga sampai kedua daun telinganya. Pada suatu
ketika, beliau pernah mengenakan pakaian merah, tiada seorangpun yang lebih
tampan dari beliau Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam.”
Selain ikal dan tebal (lebat), shifat rambut Baginda Nabǐ Muḥammad
(Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam) juga berwarna hitam, dalam hal ini sedikit
sekali ubannya, sebagaimana digambarkan dalam salah satu hadits dari Shohǐh Muslim berikut ini:
و
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ
دَاوُدَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ
بْنَ سَمُرَةَ سُئِلَ عَنْ شَيْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ كَانَ إِذَا دَهَنَ رَأْسَهُ لَمْ يُرَ مِنْهُ شَيْءٌ وَإِذَا لَمْ
يَدْهُنْ رُئِيَ مِنْهُ
Terjemah
Dan telah
menceritakan kepada kami Muḥammad bin al-Mutsanna; telah menceritakan kepada
kami Abǔ Dāwud Sulaǐmān bin Dāwud; telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Simāk
bin Harb dia berkata, aku mendengar Jabir bin Samuroh ditanya tentang uban Nabǐ
Shollallāhu ‘alaǐhi wa sallam, lalu dia menjawab: “Apabila beliau telah
meminyaki rambutnya maka ubannya sama sekali tidak kelihatan. Namun apabila
beliau tidak memakai minyak, maka ubannya kelihatan hanya sedikit.”
Demikianlah shifat rambut Baginda Nabǐ Muḥammad (Shollallāhu
‘alaǐhi wa sallam) yang sangat sesuai dengan yang dikatakan dalam Kidung Agung
5: 11. Yang demikian ini semakin menguatkan bahwa perikop ayat ini (Kidung Agung
5: 9-16) memang merupakan nubǔwah bagi Baginda Nabǐ Shollallāhu ‘alaǐhi wa
sallam.
Kalaupun para penutur bahasa Ibrani – bangsa Israel – tidak
menyadari Kebenaran nubǔwah ini, maka yang demikian ini tidaklah dapat
dijadikan batu ujian. Dalam Perjanjian Lama, ada begitu banyak ayat yang menyebutkan
bahwa orang-orang Israel adalah bangsa yang “qəšêh ‘ōreph” atau “tegar tengkuk”
(keras kepala). Cukuplah Allāh Tabāroka wa Ta’ala Memberitahukan kita dalam
firman-Nya berikut ini:
ٱلَّذِينَ
ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَعۡرِفُونَهُۥ كَمَا يَعۡرِفُونَ أَبۡنَآءَهُمۡۖ
وَإِنَّ فَرِيقٗا مِّنۡهُمۡ لَيَكۡتُمُونَ ٱلۡحَقَّ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ
١٤٦
Terjemah
Orang-orang yang telah Kami Beri Al-Kitāb mengenalnya (Muḥammad)
seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya segolongan
di antara mereka menyembunyikan Kebenaran, padahal mereka mengetahui. (Al-Qur’ān Sǔraḥ Al-Baqaraḥ: 146)
Maha Benar Allāh dengan segara firman-Nya.
Wassalāmu’alaǐkum